Cafe Ore
Hari ini adalah hari Minggu. Hari yang berwarna merah pada sebuah kalender, menandakan bahwa semua sekolah di negeri ini mengalami masa liburnya. Begitu pula dengan aku yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA ini. Aku bebas melakukan apapun yang aku suka pada hari libur ini.
“Terima kasih atas kedatangannya!”
Aku membungkuk memberikan salam pada pelanggan yang hendak pergi meninggalkan café ini. Dua orang pelanggan itu pun pergi berjalan melewati pintu keluar café ini. Setelah mereka pergi, aku pergi ke meja yang ditempati pelanggan tadi untuk membereskan sisa piring dan gelas yang ada.
Hari ini aku seharian berkerja bantu-bantu pada café yang bernama Magnaria Caféini. Kalau pada hari Minggu ini teman-temanku biasa bermain-main atau bersantai di rumah, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku untuk berkerja di café ini.
“Sepertinya yang barusan itu pelanggan terakhir. Riki! Kau langsungsiap-siap tutup café saja!”, Kata pak Manager yang mengenakan baju putih hitam seperti seorang buttler.
“Iya!”, jawabku.
Saat ini sudah pukul 11.00 malam. Sudah hampir tengah malam dan memang sudah waktunya bagi café ini untuk tutup. Biasanya café ini tutup sekitar jam 9 malam pada week day dan tutup jam 11 pada week end.
Setelah selesai membawasemua piring kotor ke dapur dan mencucinya sendiri, aku pergi ke luar untuk menurunkan papan selamat datang dan memasukkannya ke dalam ruangan. Aku juga mengelap meja-meja yang ada dan merapikan posisi kursi ke posisi sedia kala.
Sementara itu, pak Manager sedang berada di balik meja kasir untuk mencatat pendapatan uang yang masuk hari ini.
“Kau sudah boleh pulang sekarang. Aku benar-benar tertolong ada pekerja yang rajin sepertimu. Datanglah lagi besok setelah pulang sekolah.”, kata pak Manager.
Saat ini yang ada di floor café cuma aku dan pak Manager, berarti dia sedang berbicara denganku.Mungkin dia bermaksud memujiku dengan kata-katanya, tapi bagiku yang dia ucapkan hanyalah seperti pengalihan topik saja.
“Pak Manager! Aku mau melamar berkerja di sini sebagai koki! Aku tidak mau terus-terusan berkerja sebagai pelayan! Kau sudah berjanji akan menerimaku sebagai koki kalau aku sudah berkerja sebagai pelayan selama 2 bulan kan? Ini sudah lewat!”, kataku menuntut hakku.
Mendengar kata-kataku pak Manager memalingkan pandangannya.
“Hei hei, jangan begitu dong. Kau sudah sangat terbiasa menjadi pelayan kan? Lagipula tampangmu itu lumayan ganteng, jadi sayang sekali kalau hanya disimpan dibalik dapur kan? Apa kau juga tahu kalau ada beberapa pelanggan kita yang hanya datang karena ingin dilayani olehmu saja? Jangan kecewakan harapan mereka dong.”
“Huh, aku tidak akan termakan oleh kata-katamu lagi. Bilang saja kalau kau susah mencari pekerja lain yang mau berkerja sampai tengah malam begini kan?”
“Hahaha.. Mana mungkin begitu.”, katanya sambil melihat ke arah lain.
“Kalau begitu kenapa Pak Manager tidak mau berbicara sambil melihat ke arahku!?”
Tiba-tiba pak manager berubah ekspresi menjadi serius.
“Riki, apa kau tahu yang namanya Shoothies Cream Café?”
“Eh? Maksudmu café yang baru buka di blok sebelah?”, tanyaku heran.
“Iya. Belakangan ini café itu menjadi terkenal. Banyak dari pelanggan kita yang beralih pergi ke café itu daripada datang kemari. Kau tahu kenapa?”
“Tidak... kenapa?”
“Mereka menjual penampilan pelayan mereka kepada orang umum!! Semua pelayan mereka adalah kumpulan dari cewek remaja yang cantik dan manis! Tidak hanya sampai situ.. Pelayan mereka memakai seragam maid berwarna putih - pink dengan rok pendeknya!!”
“Hah!?”
“Kau tahu apa yang paling licik dari mereka?”, pak Manager memegang pundakku.
“Tidak..”
“Stocking putih... Stocking putih itu jelas-jelas melanggar peraturan!! Di tambah dengan senjata rahasia gutter belt yang tersembunyi di balik rok berrenda mereka! SIAL!!”, pak Manager tersungkur dengan wajah ketakutan. “Mereka memperalat mimpi para lelaki dengan café mereka. Benar benar mengerikan..”
Aku terpana. Aku belum pernah ke café itu jadi aku tidak tahu. Ternyata café itu begitu mengerikan. Kalau pak Manager saja sampai seperti ini berarti kekuatan café itu bukan main-main.
Eh.. Tunggu dulu..
“Trus apa hubungannya café itu denganku!?”
Pak Manager bangkit berdiri perlahan seperti zombie dan memegang pundakku.
Lalu matanya tiba-tiba bersinar.
“Riki! Kita harus bisa menandingi café itu. Kita akan menyulapmu agar bisa menjadi pelayan idaman semua perempuan! Kalau mereka punya para pelayan yang cantik-cantik, maka kita punya Kamu! Kau adalah harapan satu-satunya dari café ini Riki!”
Lalu pak Manager menunjukkan telunjuknya lurus ke langit di balik atap toko café.
“Ayo kita wujudkan Riki sang pelayan ganteng nomor satu di kota ini!!”
“Yang benar saja!! Aku tidak mau!!”
“Sudah sudah. Kalian ini belakangan jadi suka ribut-ribut setelah toko tutup ya.”, kata pemuda berbaju koki yang baru datang dari ruangan sebelah. “Riki, daripada kamu marah-marah bagaimana kalau kau mencicipi vanilla shortcake dan coklat hangat ini saja?”
Dia adalah Billy, orang yang bertanggung jawab atas dapur café ini. Billy menaruh kue dan minuman itu di meja bar di dekatku agar aku dapat mencicipinya. Billy adalah orang yang aku kagumi, yang sekaligus juga menjadi alasanku ingin belajar menjadi koki di sini.
Aku duduk dan mulai memotong kue yang lembut itu dengan garpu kecil. Tanpa menunggu lagi aku langsung memasukkan sepotong kue itu ke dalam mulutku.
“Enak.”
Rasa kue ini begitu manis namun rasanya tetap ringan. Kue yang dipotong segitiga dengan krim putih pada bagian tangah, luar, atasnya. Teksturnya lembut namun tidak mudah hancur dan ada rasa sedikit asam pada setiap potongan kue ini.
“Rasa ini.. selai stroberi..? Bukan.. Jeruk?”
“Bukan dua-duanya.”, Billy tersenyum. “Aku menggunakan sari Raspberry untuk membuat rotinya sedikit terasa asam.”
“Benarkah? Aku tak pernah tahu..”
Aku menghabiskan kue itu dan meminum juga secangkir coklat hangat yang ada. Rasanya, perasaanku habis memakan dessert itu menjadi tenang. Rasa manisnya masih tertinggal di daam mulutku. Aku terus berpikir kalau suatu saat nanti aku bisa membuat makanan ini dengan tanganku sendiri.
Saat itu Billy menyodorkan kantung tas plastik padaku.
“Apa ini?”
“Bukalah, kau akan tahu.”
Aku membuka kantung itu dan melihat. Di dalamnya ada beberapa telur, saus tomatketchup, mayonnaise, keju, tepung terigu, dan mentega. Di sana juga ada kertas yang bersisikan resep makanan.
“Mulai minggu depan kau akan dilatih oleh Billy agar kau bisa menjadi koki di sini. Tapi kau tetap akan berkerja sebagai pelayan separuh shift dari yang sekarang.”, kata Pak Manager.
“Untuk itu aku minta agar kau mau belajar memasak di rumah. Kau akan belajar memasak dari dasar dan dari menu makanan yang paling basic. Pertama-tama cobalah membuat omelet rice sesuai yang tertulis pada resep itu. Aku akan menilainya besok.”, sambung kak Billy.
“Pak Manager.. Kak Billy..”
Aku terharu, akhirnya jalanku sebagai koki akan dimulai dari sini. Selama dua bulan berkerja sebagai pelayan, aku sudah menunggu untuk saat ini.
“Ayolah, kalau kau sudah mengerti ayo cepat ganti bajumu dan pulang ke rumah. Café ini sudah tutup dari tadi.”, kata pak Manager tersenyum padaku.
“Baik!!”
Dengan perasaan yang masih penuh dengan rasa senang, aku pergi ke ruang ganti pekerja dan mengganti baju seragam pelayanku dengan baju bebas. Pada locker orang lain di ruang ganti itu aku melihat ada baju koki yang terpampang. Aku jadi membayangkan diriku sebentar lagi akan memakai seragam itu. Yang juga berarti aku akan lulus dari seragam buttler pelayan ini.
Lalu, aku kembali ke ruangan utama untuk mengucapkan salam.
“Baiklah, aku pulang duluan.”
“Hei tunggu!”, kata pak Manager. “Belakangan di sekitar sini sedang rawan terjadi kasus stalker. Kau sebaiknya berhati-hati. Apa lagi sekarang sudah tengah malam.”
“Hahaha.. Pak Manager tidak usah khawatir. Aku ini kan laki-laki.”
Yah, stalker atau yang nama lainnya disebut penguntit itu kan biasanya menyerang perempuan. Jadi sekalipun mereka ada juga aku tidak akan diincar oleh mereka.
“Kau tetap harus hati-hati Riki. Kita tidak tahu apa saja yang akan dilakukan oleh yang namanya penjahat. Selama ini memang belum pernah ada korban jiwa, tapi siapa tahu suatu saat stalker itu akan melakukan pembunuhan. Kau sebaiknya bersiap siaga setiap saat. Bawalah ini!”
Billy menyerahkan pisau yang besar dan lumayan berat. Bagian bilahnya berbentuk persegi panjang. Dari sudut manapun dilihat ini adalah pisau daging.
“Hah!? Kenapa pisau daging? Apa kau menyuruhku untuk membunuh stakler itu!?”
Bukankah pisau kecil lebih efektif untuk membela diri? Walaupun pisau daging ini bisa memberikan damage yang lebih besar dari pada pisau kecil, tapi pisau ini lebih berat untuk diayun dan kalau tidak kena maka tidak ada gunanya! Lagipula kalaupun aku berhasil membacok stalker itu.. Tengkoraknya pasti benar-benar akan terbelah. Maksudku dia akan mati!
“Jangan berpikir yang aneh-aneh, pisau itu sudah lumayan tumpul jadi tolong kau bawa pulang dan asah di rumahmu. Di sini tidak ada batu asahan jadi tidak ada pilihan lain.”, kata Billy.
“...Oh begitu.. Ok deh..”
Aku pergi keluar café lewat pintu belakang.
Begitu aku beranjak keluar, aku langsung merasakan udara malam yang dingin menusuk kulitku. Yah, apa boleh buat sudahtengah malam. Untungnya aku membawa syal dan mengenakannya hari ini, membuat leherku tetap hangat. Nafas dari mulutku terlihat ber-uap karena dinginnya malam. Aku menarik syal-ku agak ke atas agar mulutku ikut tertutup.
Dengan pisau daging titipan di tangan kananku dan kantung tas plastik berisikan bahan makanan dan resep di tangan kiriku, aku menatap ke atas.
Langit tanpa awan dengan bintang yang berkedip-kedip. Dengan bulan yang bulat sempurna tepat berada di atasku. Langit yang ada setiap malam ini entah kenapa terasa berbeda dengan langit malam biasanya. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya. Aku punya firasan kalau malam ini akan menjadi malam yang tak akan aku lupakan.
Mungkin karena hari ini aku maju selangkah mendekati cita-citaku. Ya. Pasti karena itu. Aku berjalan pulang di kota malam ini sambil melihat bulan yang cerah itu. Dan tanpa sadar aku berteriak.
“AKU AKAN MENJADI KOKI NOMOR SATU DI KOTA INI !!”
Setelah aku berteriak, tiba-tiba lampu lantai dua pada rumah yang ada di sebelahku menyala. Seseorang membuka jendela.
“BERISIK! KAU PIKIR SUDAH JAM BERAPA INI HAH!?”
“Maafkan akuu!!”
Aku langsung berlari sekuat tenaga sampai rumah itu tidak terlihat lagi.
Setelah cukup jauh, aku berbalik melihat ke arah aku berlari tadi. Tidak ada yang mengejarku. Tentu saja tidak ada yang mengejar. Jalanan sangat sepi, bahkan tidak ada satupun mobil yang lalu-lalang di sini. Aku kembali berjalan menuju rumahku.
Saat itu aku sadar kalau aku sedang berada di dekat Shoothies Cream Café. Cafésaingan yang dibicarakan pak manager tadi. Sebenarnya, aku sedang berada di seberang jalan di sisibelakang café tersebut, dan aku lihat lampunya masih menyala. Mungkin masih ada orang di dalam.
Aku berpikir mungkin ada baiknya kalau aku mampir ke café ini sekali-kali untuk mencoba rasanya. Biar aku bisa menilai sendiri seberapa level café saingan ini. Apapun itu yang jelas bukan sekarang, bukan tengah malam begini.
Aku berbalik dan berjalan pulang.
Dan saat itu tiba-tiba ada angin yang kencang berhembus.
Secara refleks, aku langsung memegangi syalku agar tidak terbang terbawa angin.
“Kyaaa!!”, suara perempuan.
Suara itu berasal dari seorang cewek yang berada di depan pintu belakang café. Karena angin kencang barusan, guntulan kantung plastik besar berisi sampah yang ia bawa terlepas dari tangannya dan bergelinding menyusiri jalan trotoar.
Cewek itu terlihat kesusahan mengejar bola kantung plastik besar yang menggelinding. Dan dia berhasil menangkapnya di jarak lima meter dari tempat dia berdiri semula.
Cewek itu kira-kira seumuran denganku. Panjang rambutnya sedikit di bawah bahu dan diikat twintail pada sekitar belakang telinganya. Kedua ujung rambutnya yang diikat itu menjulur ke bagian depan pundaknya.
“Melsa! Kau tidak apa-apa?”, suara dari dalam café.
“Iya, aku baik-baik saja.”, balas cewek tersebut.
Cewek itu lalu menaruh kantung besar berisi sampah tersebut pada kotak pojokan sampah. Setelahnya ia menepuk-nepukkan tangannya sambil tersenyum dan berjalan kembali ke dalam café.
Dari seberang jalan aku memperhatikan cewek tersebut. Namanya Melsa. Sosoknya dengan pakaian kasualnya. Suara dengan nada halusnya masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Jantungku rasanya masih berdebar-debar. Ada apa ini..?
Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama?
Di jalan dekat pintu café itu ada sesuatu yang bersinar. Aku langsung berlari menyebrang jalan untuk menghampiri benda itu. Sebuah gantungan kunci. Eh, ini adalah sebuah gunting kuku kecil yang terhubung dengan rantai kecil seperti sebuah gantungan kunci.
Aku memperhatikan benda itu di atas telapak tanganku. Barang ini kemungkinan besar adalah milik Melsa yang baru saja terjatuh tadi. Iya, benda ini milik cewek manis barusan. Saat itu aku mendengar suara langkah dari balik pintu.
Cewek itu keluar dari pintu café.
“Iya, aku pulang duluan ya.”, salam cewek itu, menutup pintu, dan berjalan pergi dari tempat itu. Suara langkah kakinya yang semakin lama semakin kecil bergema di dalam telingaku.
Tanpa sadar aku sudah bersembunyi di balik gang terdekat. Perasaanku tidak karuan, antara ingin bertemu namun juga takut. Tapi aku ingin melihatnya lagi. Namanya Melsa. Aku harus mengembalikan barang ini. Sebuah gantungan, gunting kuku kecil.
Suara langkah kakinya terdengar semakin kecil. Kalau mau mengejar sekaranglah saatnya. Aku bersandar di jalanan gelap di balik gang itu berusaha meyakinkan diriku.Kalau tidak dikejar sekarang maka tidak akan ada kesempatan ke dua. Tapi, kenapa.. Debaran jantung ini semakin tidak karuan. Dan kakiku rasanya berat sekali..
Pada akhirnya, suara langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi olehku.
Kakiku lemas dan aku jatuh terduduk bersandar di sana. Akhirnya aku tidak sanggup untuk mengejarnya. Aku memandangi gantungan itu sekali lagi. Lalu, aku menggenggamnya erat sambil memejamkan mataku.
Gantungan ini akan aku simpan baik-baik. Gantungan ini adalah sebuah pecahan dari kenangan berharga yang aku dapat pada momen hidupku. Mungkin, sebagian dari diriku memiliki keegoisan untuk memonopoli gantungan ini untuk diriku sendiri. Itulah yang menyebabkan aku tidak bisa mengembalikannya.
Beberapa lama aku berdiam di sana.
“...”
Pulang saja ah.
Aku memasukkan gantungan gunting kuku itu ke dalam sakuku dan berjalan pulang.
Wajah Melsa masih terbayang-bayang di kepalaku. Kalau besok aku ke sini lagi bakal ketemu ga ya? Kalau aku datang sebagai pelanggan, mungkin aku bisa melihatnya dalam seragam pelayan. Hehe.. Kalau begitu aku harus tahu hari apa saja dia kerja.
“Haaaaaah....”, aku menghela nafas panjang.
Menyapanya saja aku tidak berani. Apa aku punya keberanian untuk datang ke café itu ya? Ah sudah lah...Aku melihat bulan purnama yang bersinar di langit. Saat ini di bawah langit yang sama, Melsa pasti sedang berjalan ke rumahnya. Atau mungkin dia sudah sampai di rumah ya. Ah, seandainya saja aku tahu di mana rumahnya..
Tiba-tiba aku teringat kata-kata pak Manager, yang membuatku takut.
“Stalker! Melsa dalam bahaya!”, kataku spontan.
Tidak tidak, itu hanya rumor. Tapi bagaimana kalau Melsa benar-benar diserang? Aku sering pulang malam tapi tidak pernah bertemu siapapun. Kemungkinannya kecil.. tapi. Perempuan pulang sendirian jam segini sudah cukup berbahaya. Tapi..
“Aaarrrgh!!”
Aku berhenti berpikir dan langsung berlari mengejar Melsa.
Aku berlari dan berlari menyusuri jalan trotoar yang ada. Aku tidak tahu ke arah mana ia pergi, dan hanya mengandalkan insting firasatku untuk menemukannya. Berhaharap Melsa belum berjalan terlalu jauh.
Tiga puluh meter di depan ada rumah dua tingkat. Kebetulan bentuknya lumayan mudah untuk dinaiki. Aku melompat ke pijakan tiang listrik terdekat, menuju tembok pagar rumah, melompat ke beranda lantai dua, lalu dengan memijak pagar beranda itu aku melompat ke atap rumah dua tingkat tersebut. Bentuk susunan rumah seperti ini sangat rawan dengan pencuri, tapi aku tidak peduli.
Di puncak atap rumah tersebut aku langsung melihat ke aras sekeliling. Mencari jejak Melsa.
“Ketemu!”
Sesosok perempuan twintail dengan tas selempang. Jaraknya sekitar 200 meter di depan sedang berjalan di jalan kecil. Aku langsung melompat turun memijak pagar lalu jatuh berguling. Aku berlari ke arah aku melihatnya tadi.
Aku memilih jalan potong terdekat untuk mengejarnya. Melewati satu belokan, lalu belokan kedua. Keluar dari belokan ketiga aku dapat melihat punggung Melsa yang sedang berjalan tidak jauh di depan. Saat itu Melsa berbalik melihat ke belakang, aku langsung melompat mundur masuk ke belokan tadi.
Aku bersandar di balik tembok itu, menunggu dan bersembunyi agar tidak terlihat olehnya. Sekitar 8 detik begitu aku mendengar suara langkahnya berjalan kembali, aku langung mengintipnya dari balik tembok tersebut. Melsa baik-baik saja.
Aku sudah khawatir apa yang akan terjadi padanya tapi syukurlah tidak terjadi apa-apa. Tidak-tidak, aku tidak boleh menurunkan kewaspadaanku. Perempuan berjalan sendiri tengah malam begini cukup berbahaya, apalagi dengan adanya rumor stalker belakangan ini.
Sudah aku putuskan, aku akan menjaganya sampai dia sampai di rumahnya.
Aku pikir lebih baik aku menjaganya diam-diam daripada terang-terangan. Karena itulah aku berjalan menjaga jarak di belakangnya. Sebisa mungkin aku tidak menimbulkan suara dan menyamakan irama jalanku dengannya. Pada malam yang sunyi seperti ini bunyi sedikit saja bisa mudah terdengar, jadi aku harus berhati-hati.
Setelah berjalan cukup jauh, entah kenapa dia semakin sering melihat ke kanan-kiri dan belakang. Aku pun jadi semakin sering berhenti berjalan dan sembunyi. Entah kenapa dia semakin terlihat tidak tenang. Melewati beberapa tikungan setelahnya, tiba-tiba Melsa berlari.
Aku kaget dan langsung ikut berlari mengejarnya. Melsa berlari masuk ke dalam gang kecil. Gerakannya itu sepertinya sedang kabur dari sesuatu. Jagan-jangan di sekitar sini sudah ada stalker! Kalau memang demikian aku harus mempercepat langkahku. Aku harus melindungi Melsa dari stalker itu.
Begitu aku berkelok ke gang yang dimasuki Melsa, ada tong sampah alumunium yang melayang ke arahku. *Klang! Brak!* Aku refleks menendang tong sampah itu ke pinggir. Suara langkah lari Melsa semakin menjauh, aku langsung berlari mengejarnya.
Setelahnya, Melsa berlari terus berbelok-belok melewati jalan yang tidak biasa. Tidak salah lagi, dia pasti sedang berusaha kabur dari sesuatu. Tapi stalkeritu.. Siapa? Di mana? Aku terus mengejarnya di belakangnya tapi tidak bisa merasakan keberadaan siapapun di dekat sini.Aku tidak menyangka ada orang yang pandai bersembunyi sehebat ini.
Melsa di depan berlari keluar ke jalan besar. Jalan ini sangat sepi pada malam hari. Dia berlari melewati perempatan yang lampunya masih merah. Saat itu ada mobil yang sedang melaju kencang dari arah samping. Firasat burukku langsung memuncak. Aku mengerahkan seluruh tenaga yang aku punya untuk berakselerasi mengejarnya.
Mobil itu melaju lurus menghadang Melsa yang sedang menyebrang jalan.
Saat Melsa baru menyadari adanya mobil dari kiri, mobil itu sudah berada sangat dekat dengannya. Pada detik sebelum crash, aku berhasil mendorongnya ke depan. Sedangkan aku, di sana. Dalam hitungan mili detik, lutut kiriku tertabrak duluan, setelahnya badanku terdorong ke atas kap mobil, semua kantung barang bawaanku robek terlontar, badanku berguling ke atas mobil, menabrak dan membuat kaca depan mobil retak, lalu berputar sampai akhirnya mobil itu lewat di bawahku sepenuhnya.
Dalam sekejap, yang terjadi adalah aku tertabrak dan berguling di atas mobil yang melaju kencang itu. Lalu, aku terhantantam ke aspal jalan sambil masih berguling. Mobil itu baru mengerem mendadak setelah menabrakku meninggalkan garis hitam di jalan dan bunyi yang menyelekit.
Sebuah mobil McLaren MP4-12C merah. Sebentar dia berhenti, mobil itu langsung menancap gas dan kabur pergi. Aku bahkan tidak sempat melihat plat nomornya.
Oh ya, Melsa! Apa dia baik-baik saja? Aku langsung bangkit menengok ke arahnya. Melsa sedang terduduk terpana melihat ke arahku. Sepertinya dia baik-baik saja. Aku juga sebaiknya cepat beranjak dari tengah jalan ini. Untung saja aku belajar Aikido dan Jujitsu dari kecil, setidaknya tubuhku tahu caranya meminimalisir benturan yang ada.
Aku berusaha berdiri dan saat itu barulah terasa kalau kaki kiriku lemas mati rasa. Paling tidak, tidak ada yang patah juga sudah beruntung. Aku melihat kantung berisi bahan makanan milikku sudah hancur berantakan. Telur-telur pecah semua, terigu berserakan seperti kapur putih, ketchup saus tomat dan maionase sudah muncrat keluar dari botol mengotori sekujur tubuhku.
Resepnya! Aku harus mencari kertas resepnya. Itu yang penting. Aku merangkak mencari kertas resep pemberian kak Billy di tengah jalanan yang gelap. Dan aku menemukan kertas itu. Secara ajaib, kertas resep itu tertindih di bawah pisau daging.Bagian atas pisaunya sudah kotor berlumuran saus tomat, sedangkan kertas resep di bagian bawahnya bersih tidak bernoda.
“Ketemu.. Hehehe... Syukurlah..”
Apa jadinya kalau aku menghilangkan kertas resep ini? Aku mengambil pisau itu dan menaruh kertas resep itu di sakuku agar aman.
Saat itu, entah kenapa wajah Melsa terlihat semakin pucat dan tubuhnya bergetar.
Aku khawatir, jangan-jangan dia terluka. Aku bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya.
“TIDAAAAAK!!”, Melsa berteriak.
Melsa langsung berdiri dan berlari pergi.
Yang benar saja, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian.. Aku kembali mengerahkan tenagaku untuk berlari mengejarnya. Walaupun aku berlari agak sempoyongan gara-gara kaki kiriku yang lemas, aku masih bisa menandingi kecepatan berlarinya.
Selama berlari, aku terus berpikir kenapa dia terus berlari seperti ini. Apa yang sebenarnya dia hindari. Aku tidak mengerti. Karena itu aku berteriak.
“TUNGGU!! KENAPA KAU TERUS BERLARI!!”
“MAU GIMANA LAGI!? ADA STALKER YANG TERUS MENGEJARKU!!”
!? Ada stalker? Di sini!? Sekarang!?
Ternyata memang ada stalker yang mengejarnya. Kalau begitu, yang harus aku lakukan hanya satu.
Aku berlari mendahuluinya dan menarik tubuh Melsa berbelok masuk ke dalam gang sempit di antara bangunan. Aku menariknya, berlari dan berbelok di persimpangan gang sempit itu. Bahkan pada malam bulan purnama seperti ini, cahayanya hanya dapat samar-samar masuk ke celah gang sempit seperti ini.
“Apa ya--!?”
“Diamlah!!”
Aku mendekapnya dan menutup mulutnya dengan tanganku. Dalam kondisi kritis seperti ini aku harus bergerak cepat dan aku tidak punya pilihan.
Di jalan sempit seperti ini hanya ada satu jalan keluar. Bila stalkeritu masih mengejar kemari, harusnya aku dapat melihatnya datang. Dan bila itu benar-benar terjadi. Maka, aku akan terpaksa memakai pisau daging ini untuk melawannya. Aku harus melakukan serangan balik pada stalkeritu.
“Hmp..! Hmp!!”, Melsa terus memberontak berusaha melepaskan diri.
“Jangan berontak!”
Kalau Melsa terus berontak, kita akan ketahuan. Walaupun begitu dia terus melawanku. Apa boleh buat, aku melepaskan pisau daging yang aku pegang. Aku memelintir tangannya di belakang dan menyekapnya. Dengan kedua tanganku, aku mengunci gerakannya dan menutup mulutnya dengan jurus Jujitsu yang aku pelajari.
Awalnya, Melsa masih berontak. Tapi dengan kuncian seperti ini seharusnya dia akan merasakan kesakitan semakin dia memberontak. Sehingga beberapa lama kemudian dia menyerah dan hanya menunggu lemas.
Satu menit berlalu...
Tiga menit berlalu...
Jalanan gelap yang sunyi. Aku menajamkan pendengaranku untuk mendengarkan sekelilingku. Sebuah bunyi sirine mobil polisi. *Wui wui wui wui*, Mobil itu lewat begitu saja hanya memberikan kilatan warna merah yang sekejap di gang ini. Bunyi sirine itu pun berlalu dan gang ini kembali sunyi.
Lima menit berlalu...
Tidak ada bunyi, tidak ada tanda-tanda seseorang yang mengejar kami.
Aku perlahan-lahan melepaskan Melsa dari dekapanku.
Melsa sepertinya sudah hampir kehabisan energi. Dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Tapi sudah tidak apa-apa. Tidak ada orang yang mengejar Melsa lagi. Sekarang sudah benar-benar aman.
Aku berdiri dengan agak pincang, lalu aku memungut pisau daging titipan dari kak Billy yang tergeletak di tanah.
“Kau tak perlu khawatir. Semua sudah selesai.”
Melsa hanya kaku terdiam memandangiku.
“Sudah tidak ada lagi yang mengejar kita. Yang ada di sini hanya kita berdua.”
“!?!?”
Ya, sudah tidak ada lagi stalkeryang mengejar kita. Kejar-kejaran yang melelahkan ini sudah selesai. Wajah Melsa sepertinya sangat ketakutan seperti melihat hantu. Dia pasti masih belum melupakan rasa tegangnya tadi.
“A-apa yang akan kamu lalukan!?”, tanya Melsa.
“Tidak apa-apa, tidak ada yang perlu kau takuti.”, kataku sambil melangkah mendekatinya.
Aku berusaha menenangkan Melsa dengan kata-kataku.Tapi, entah kenapa ia terlihat semakin pucat.
“Apa kamu.. akan memakan..”
“Ah. Kebetulan aku memang sedang lapar. Rencananya aku akan makan setelah ini.”
Terakhir aku makan malam tadi jam 6 sore. Kue tart tadi tidak cukup untuk memenuhi perutku. Aku juga masih harus belajar mencoba resep omelet rice ini. Jadi aku akan segera membuatnya begitu aku sampai di rumah.
“Hentikan! Jangan mendekat dasar Serigala!”
“Heh? Kenapa kau bisa tahu julukanku?”
Waktu SMP, kehidupan sekolahku lumayan bermasalah.Saat aku kelas dua, ada dua SMP tetangga sekolahku yang sedang ramai-ramainya bersengketa. Mereka sering kali berkelahi satu sama lain. Suatu hari mereka sedang tawuran besar-besaran, kebetulan aku lewat di medan tawuran itu dan terbawa menyampur.
Semuanya berlangsung tanpa kendali hingga aku berakhir dengan menghabisi semua yang ada.
Sejak saat itu kehidupan sekolahku selalu terlibat masalah selama dua tahun terakhir. Banyak orang yang datang mendatangiku membuatku tidaktenang,dan aku mendapat julukan ‘Serigala Bertaring Hitam’.
“Terima kasih atas kedatangannya!”
Aku membungkuk memberikan salam pada pelanggan yang hendak pergi meninggalkan café ini. Dua orang pelanggan itu pun pergi berjalan melewati pintu keluar café ini. Setelah mereka pergi, aku pergi ke meja yang ditempati pelanggan tadi untuk membereskan sisa piring dan gelas yang ada.
Hari ini aku seharian berkerja bantu-bantu pada café yang bernama Magnaria Caféini. Kalau pada hari Minggu ini teman-temanku biasa bermain-main atau bersantai di rumah, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku untuk berkerja di café ini.
“Sepertinya yang barusan itu pelanggan terakhir. Riki! Kau langsungsiap-siap tutup café saja!”, Kata pak Manager yang mengenakan baju putih hitam seperti seorang buttler.
“Iya!”, jawabku.
Saat ini sudah pukul 11.00 malam. Sudah hampir tengah malam dan memang sudah waktunya bagi café ini untuk tutup. Biasanya café ini tutup sekitar jam 9 malam pada week day dan tutup jam 11 pada week end.
Setelah selesai membawasemua piring kotor ke dapur dan mencucinya sendiri, aku pergi ke luar untuk menurunkan papan selamat datang dan memasukkannya ke dalam ruangan. Aku juga mengelap meja-meja yang ada dan merapikan posisi kursi ke posisi sedia kala.
Sementara itu, pak Manager sedang berada di balik meja kasir untuk mencatat pendapatan uang yang masuk hari ini.
“Kau sudah boleh pulang sekarang. Aku benar-benar tertolong ada pekerja yang rajin sepertimu. Datanglah lagi besok setelah pulang sekolah.”, kata pak Manager.
Saat ini yang ada di floor café cuma aku dan pak Manager, berarti dia sedang berbicara denganku.Mungkin dia bermaksud memujiku dengan kata-katanya, tapi bagiku yang dia ucapkan hanyalah seperti pengalihan topik saja.
“Pak Manager! Aku mau melamar berkerja di sini sebagai koki! Aku tidak mau terus-terusan berkerja sebagai pelayan! Kau sudah berjanji akan menerimaku sebagai koki kalau aku sudah berkerja sebagai pelayan selama 2 bulan kan? Ini sudah lewat!”, kataku menuntut hakku.
Mendengar kata-kataku pak Manager memalingkan pandangannya.
“Hei hei, jangan begitu dong. Kau sudah sangat terbiasa menjadi pelayan kan? Lagipula tampangmu itu lumayan ganteng, jadi sayang sekali kalau hanya disimpan dibalik dapur kan? Apa kau juga tahu kalau ada beberapa pelanggan kita yang hanya datang karena ingin dilayani olehmu saja? Jangan kecewakan harapan mereka dong.”
“Huh, aku tidak akan termakan oleh kata-katamu lagi. Bilang saja kalau kau susah mencari pekerja lain yang mau berkerja sampai tengah malam begini kan?”
“Hahaha.. Mana mungkin begitu.”, katanya sambil melihat ke arah lain.
“Kalau begitu kenapa Pak Manager tidak mau berbicara sambil melihat ke arahku!?”
Tiba-tiba pak manager berubah ekspresi menjadi serius.
“Riki, apa kau tahu yang namanya Shoothies Cream Café?”
“Eh? Maksudmu café yang baru buka di blok sebelah?”, tanyaku heran.
“Iya. Belakangan ini café itu menjadi terkenal. Banyak dari pelanggan kita yang beralih pergi ke café itu daripada datang kemari. Kau tahu kenapa?”
“Tidak... kenapa?”
“Mereka menjual penampilan pelayan mereka kepada orang umum!! Semua pelayan mereka adalah kumpulan dari cewek remaja yang cantik dan manis! Tidak hanya sampai situ.. Pelayan mereka memakai seragam maid berwarna putih - pink dengan rok pendeknya!!”
“Hah!?”
“Kau tahu apa yang paling licik dari mereka?”, pak Manager memegang pundakku.
“Tidak..”
“Stocking putih... Stocking putih itu jelas-jelas melanggar peraturan!! Di tambah dengan senjata rahasia gutter belt yang tersembunyi di balik rok berrenda mereka! SIAL!!”, pak Manager tersungkur dengan wajah ketakutan. “Mereka memperalat mimpi para lelaki dengan café mereka. Benar benar mengerikan..”
Aku terpana. Aku belum pernah ke café itu jadi aku tidak tahu. Ternyata café itu begitu mengerikan. Kalau pak Manager saja sampai seperti ini berarti kekuatan café itu bukan main-main.
Eh.. Tunggu dulu..
“Trus apa hubungannya café itu denganku!?”
Pak Manager bangkit berdiri perlahan seperti zombie dan memegang pundakku.
Lalu matanya tiba-tiba bersinar.
“Riki! Kita harus bisa menandingi café itu. Kita akan menyulapmu agar bisa menjadi pelayan idaman semua perempuan! Kalau mereka punya para pelayan yang cantik-cantik, maka kita punya Kamu! Kau adalah harapan satu-satunya dari café ini Riki!”
Lalu pak Manager menunjukkan telunjuknya lurus ke langit di balik atap toko café.
“Ayo kita wujudkan Riki sang pelayan ganteng nomor satu di kota ini!!”
“Yang benar saja!! Aku tidak mau!!”
“Sudah sudah. Kalian ini belakangan jadi suka ribut-ribut setelah toko tutup ya.”, kata pemuda berbaju koki yang baru datang dari ruangan sebelah. “Riki, daripada kamu marah-marah bagaimana kalau kau mencicipi vanilla shortcake dan coklat hangat ini saja?”
Dia adalah Billy, orang yang bertanggung jawab atas dapur café ini. Billy menaruh kue dan minuman itu di meja bar di dekatku agar aku dapat mencicipinya. Billy adalah orang yang aku kagumi, yang sekaligus juga menjadi alasanku ingin belajar menjadi koki di sini.
Aku duduk dan mulai memotong kue yang lembut itu dengan garpu kecil. Tanpa menunggu lagi aku langsung memasukkan sepotong kue itu ke dalam mulutku.
“Enak.”
Rasa kue ini begitu manis namun rasanya tetap ringan. Kue yang dipotong segitiga dengan krim putih pada bagian tangah, luar, atasnya. Teksturnya lembut namun tidak mudah hancur dan ada rasa sedikit asam pada setiap potongan kue ini.
“Rasa ini.. selai stroberi..? Bukan.. Jeruk?”
“Bukan dua-duanya.”, Billy tersenyum. “Aku menggunakan sari Raspberry untuk membuat rotinya sedikit terasa asam.”
“Benarkah? Aku tak pernah tahu..”
Aku menghabiskan kue itu dan meminum juga secangkir coklat hangat yang ada. Rasanya, perasaanku habis memakan dessert itu menjadi tenang. Rasa manisnya masih tertinggal di daam mulutku. Aku terus berpikir kalau suatu saat nanti aku bisa membuat makanan ini dengan tanganku sendiri.
Saat itu Billy menyodorkan kantung tas plastik padaku.
“Apa ini?”
“Bukalah, kau akan tahu.”
Aku membuka kantung itu dan melihat. Di dalamnya ada beberapa telur, saus tomatketchup, mayonnaise, keju, tepung terigu, dan mentega. Di sana juga ada kertas yang bersisikan resep makanan.
“Mulai minggu depan kau akan dilatih oleh Billy agar kau bisa menjadi koki di sini. Tapi kau tetap akan berkerja sebagai pelayan separuh shift dari yang sekarang.”, kata Pak Manager.
“Untuk itu aku minta agar kau mau belajar memasak di rumah. Kau akan belajar memasak dari dasar dan dari menu makanan yang paling basic. Pertama-tama cobalah membuat omelet rice sesuai yang tertulis pada resep itu. Aku akan menilainya besok.”, sambung kak Billy.
“Pak Manager.. Kak Billy..”
Aku terharu, akhirnya jalanku sebagai koki akan dimulai dari sini. Selama dua bulan berkerja sebagai pelayan, aku sudah menunggu untuk saat ini.
“Ayolah, kalau kau sudah mengerti ayo cepat ganti bajumu dan pulang ke rumah. Café ini sudah tutup dari tadi.”, kata pak Manager tersenyum padaku.
“Baik!!”
Dengan perasaan yang masih penuh dengan rasa senang, aku pergi ke ruang ganti pekerja dan mengganti baju seragam pelayanku dengan baju bebas. Pada locker orang lain di ruang ganti itu aku melihat ada baju koki yang terpampang. Aku jadi membayangkan diriku sebentar lagi akan memakai seragam itu. Yang juga berarti aku akan lulus dari seragam buttler pelayan ini.
Lalu, aku kembali ke ruangan utama untuk mengucapkan salam.
“Baiklah, aku pulang duluan.”
“Hei tunggu!”, kata pak Manager. “Belakangan di sekitar sini sedang rawan terjadi kasus stalker. Kau sebaiknya berhati-hati. Apa lagi sekarang sudah tengah malam.”
“Hahaha.. Pak Manager tidak usah khawatir. Aku ini kan laki-laki.”
Yah, stalker atau yang nama lainnya disebut penguntit itu kan biasanya menyerang perempuan. Jadi sekalipun mereka ada juga aku tidak akan diincar oleh mereka.
“Kau tetap harus hati-hati Riki. Kita tidak tahu apa saja yang akan dilakukan oleh yang namanya penjahat. Selama ini memang belum pernah ada korban jiwa, tapi siapa tahu suatu saat stalker itu akan melakukan pembunuhan. Kau sebaiknya bersiap siaga setiap saat. Bawalah ini!”
Billy menyerahkan pisau yang besar dan lumayan berat. Bagian bilahnya berbentuk persegi panjang. Dari sudut manapun dilihat ini adalah pisau daging.
“Hah!? Kenapa pisau daging? Apa kau menyuruhku untuk membunuh stakler itu!?”
Bukankah pisau kecil lebih efektif untuk membela diri? Walaupun pisau daging ini bisa memberikan damage yang lebih besar dari pada pisau kecil, tapi pisau ini lebih berat untuk diayun dan kalau tidak kena maka tidak ada gunanya! Lagipula kalaupun aku berhasil membacok stalker itu.. Tengkoraknya pasti benar-benar akan terbelah. Maksudku dia akan mati!
“Jangan berpikir yang aneh-aneh, pisau itu sudah lumayan tumpul jadi tolong kau bawa pulang dan asah di rumahmu. Di sini tidak ada batu asahan jadi tidak ada pilihan lain.”, kata Billy.
“...Oh begitu.. Ok deh..”
Aku pergi keluar café lewat pintu belakang.
Begitu aku beranjak keluar, aku langsung merasakan udara malam yang dingin menusuk kulitku. Yah, apa boleh buat sudahtengah malam. Untungnya aku membawa syal dan mengenakannya hari ini, membuat leherku tetap hangat. Nafas dari mulutku terlihat ber-uap karena dinginnya malam. Aku menarik syal-ku agak ke atas agar mulutku ikut tertutup.
Dengan pisau daging titipan di tangan kananku dan kantung tas plastik berisikan bahan makanan dan resep di tangan kiriku, aku menatap ke atas.
Langit tanpa awan dengan bintang yang berkedip-kedip. Dengan bulan yang bulat sempurna tepat berada di atasku. Langit yang ada setiap malam ini entah kenapa terasa berbeda dengan langit malam biasanya. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya. Aku punya firasan kalau malam ini akan menjadi malam yang tak akan aku lupakan.
Mungkin karena hari ini aku maju selangkah mendekati cita-citaku. Ya. Pasti karena itu. Aku berjalan pulang di kota malam ini sambil melihat bulan yang cerah itu. Dan tanpa sadar aku berteriak.
“AKU AKAN MENJADI KOKI NOMOR SATU DI KOTA INI !!”
Setelah aku berteriak, tiba-tiba lampu lantai dua pada rumah yang ada di sebelahku menyala. Seseorang membuka jendela.
“BERISIK! KAU PIKIR SUDAH JAM BERAPA INI HAH!?”
“Maafkan akuu!!”
Aku langsung berlari sekuat tenaga sampai rumah itu tidak terlihat lagi.
Setelah cukup jauh, aku berbalik melihat ke arah aku berlari tadi. Tidak ada yang mengejarku. Tentu saja tidak ada yang mengejar. Jalanan sangat sepi, bahkan tidak ada satupun mobil yang lalu-lalang di sini. Aku kembali berjalan menuju rumahku.
Saat itu aku sadar kalau aku sedang berada di dekat Shoothies Cream Café. Cafésaingan yang dibicarakan pak manager tadi. Sebenarnya, aku sedang berada di seberang jalan di sisibelakang café tersebut, dan aku lihat lampunya masih menyala. Mungkin masih ada orang di dalam.
Aku berpikir mungkin ada baiknya kalau aku mampir ke café ini sekali-kali untuk mencoba rasanya. Biar aku bisa menilai sendiri seberapa level café saingan ini. Apapun itu yang jelas bukan sekarang, bukan tengah malam begini.
Aku berbalik dan berjalan pulang.
Dan saat itu tiba-tiba ada angin yang kencang berhembus.
Secara refleks, aku langsung memegangi syalku agar tidak terbang terbawa angin.
“Kyaaa!!”, suara perempuan.
Suara itu berasal dari seorang cewek yang berada di depan pintu belakang café. Karena angin kencang barusan, guntulan kantung plastik besar berisi sampah yang ia bawa terlepas dari tangannya dan bergelinding menyusiri jalan trotoar.
Cewek itu terlihat kesusahan mengejar bola kantung plastik besar yang menggelinding. Dan dia berhasil menangkapnya di jarak lima meter dari tempat dia berdiri semula.
Cewek itu kira-kira seumuran denganku. Panjang rambutnya sedikit di bawah bahu dan diikat twintail pada sekitar belakang telinganya. Kedua ujung rambutnya yang diikat itu menjulur ke bagian depan pundaknya.
“Melsa! Kau tidak apa-apa?”, suara dari dalam café.
“Iya, aku baik-baik saja.”, balas cewek tersebut.
Cewek itu lalu menaruh kantung besar berisi sampah tersebut pada kotak pojokan sampah. Setelahnya ia menepuk-nepukkan tangannya sambil tersenyum dan berjalan kembali ke dalam café.
Dari seberang jalan aku memperhatikan cewek tersebut. Namanya Melsa. Sosoknya dengan pakaian kasualnya. Suara dengan nada halusnya masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Jantungku rasanya masih berdebar-debar. Ada apa ini..?
Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama?
Di jalan dekat pintu café itu ada sesuatu yang bersinar. Aku langsung berlari menyebrang jalan untuk menghampiri benda itu. Sebuah gantungan kunci. Eh, ini adalah sebuah gunting kuku kecil yang terhubung dengan rantai kecil seperti sebuah gantungan kunci.
Aku memperhatikan benda itu di atas telapak tanganku. Barang ini kemungkinan besar adalah milik Melsa yang baru saja terjatuh tadi. Iya, benda ini milik cewek manis barusan. Saat itu aku mendengar suara langkah dari balik pintu.
Cewek itu keluar dari pintu café.
“Iya, aku pulang duluan ya.”, salam cewek itu, menutup pintu, dan berjalan pergi dari tempat itu. Suara langkah kakinya yang semakin lama semakin kecil bergema di dalam telingaku.
Tanpa sadar aku sudah bersembunyi di balik gang terdekat. Perasaanku tidak karuan, antara ingin bertemu namun juga takut. Tapi aku ingin melihatnya lagi. Namanya Melsa. Aku harus mengembalikan barang ini. Sebuah gantungan, gunting kuku kecil.
Suara langkah kakinya terdengar semakin kecil. Kalau mau mengejar sekaranglah saatnya. Aku bersandar di jalanan gelap di balik gang itu berusaha meyakinkan diriku.Kalau tidak dikejar sekarang maka tidak akan ada kesempatan ke dua. Tapi, kenapa.. Debaran jantung ini semakin tidak karuan. Dan kakiku rasanya berat sekali..
Pada akhirnya, suara langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi olehku.
Kakiku lemas dan aku jatuh terduduk bersandar di sana. Akhirnya aku tidak sanggup untuk mengejarnya. Aku memandangi gantungan itu sekali lagi. Lalu, aku menggenggamnya erat sambil memejamkan mataku.
Gantungan ini akan aku simpan baik-baik. Gantungan ini adalah sebuah pecahan dari kenangan berharga yang aku dapat pada momen hidupku. Mungkin, sebagian dari diriku memiliki keegoisan untuk memonopoli gantungan ini untuk diriku sendiri. Itulah yang menyebabkan aku tidak bisa mengembalikannya.
Beberapa lama aku berdiam di sana.
“...”
Pulang saja ah.
Aku memasukkan gantungan gunting kuku itu ke dalam sakuku dan berjalan pulang.
Wajah Melsa masih terbayang-bayang di kepalaku. Kalau besok aku ke sini lagi bakal ketemu ga ya? Kalau aku datang sebagai pelanggan, mungkin aku bisa melihatnya dalam seragam pelayan. Hehe.. Kalau begitu aku harus tahu hari apa saja dia kerja.
“Haaaaaah....”, aku menghela nafas panjang.
Menyapanya saja aku tidak berani. Apa aku punya keberanian untuk datang ke café itu ya? Ah sudah lah...Aku melihat bulan purnama yang bersinar di langit. Saat ini di bawah langit yang sama, Melsa pasti sedang berjalan ke rumahnya. Atau mungkin dia sudah sampai di rumah ya. Ah, seandainya saja aku tahu di mana rumahnya..
Tiba-tiba aku teringat kata-kata pak Manager, yang membuatku takut.
“Stalker! Melsa dalam bahaya!”, kataku spontan.
Tidak tidak, itu hanya rumor. Tapi bagaimana kalau Melsa benar-benar diserang? Aku sering pulang malam tapi tidak pernah bertemu siapapun. Kemungkinannya kecil.. tapi. Perempuan pulang sendirian jam segini sudah cukup berbahaya. Tapi..
“Aaarrrgh!!”
Aku berhenti berpikir dan langsung berlari mengejar Melsa.
Aku berlari dan berlari menyusuri jalan trotoar yang ada. Aku tidak tahu ke arah mana ia pergi, dan hanya mengandalkan insting firasatku untuk menemukannya. Berhaharap Melsa belum berjalan terlalu jauh.
Tiga puluh meter di depan ada rumah dua tingkat. Kebetulan bentuknya lumayan mudah untuk dinaiki. Aku melompat ke pijakan tiang listrik terdekat, menuju tembok pagar rumah, melompat ke beranda lantai dua, lalu dengan memijak pagar beranda itu aku melompat ke atap rumah dua tingkat tersebut. Bentuk susunan rumah seperti ini sangat rawan dengan pencuri, tapi aku tidak peduli.
Di puncak atap rumah tersebut aku langsung melihat ke aras sekeliling. Mencari jejak Melsa.
“Ketemu!”
Sesosok perempuan twintail dengan tas selempang. Jaraknya sekitar 200 meter di depan sedang berjalan di jalan kecil. Aku langsung melompat turun memijak pagar lalu jatuh berguling. Aku berlari ke arah aku melihatnya tadi.
Aku memilih jalan potong terdekat untuk mengejarnya. Melewati satu belokan, lalu belokan kedua. Keluar dari belokan ketiga aku dapat melihat punggung Melsa yang sedang berjalan tidak jauh di depan. Saat itu Melsa berbalik melihat ke belakang, aku langsung melompat mundur masuk ke belokan tadi.
Aku bersandar di balik tembok itu, menunggu dan bersembunyi agar tidak terlihat olehnya. Sekitar 8 detik begitu aku mendengar suara langkahnya berjalan kembali, aku langung mengintipnya dari balik tembok tersebut. Melsa baik-baik saja.
Aku sudah khawatir apa yang akan terjadi padanya tapi syukurlah tidak terjadi apa-apa. Tidak-tidak, aku tidak boleh menurunkan kewaspadaanku. Perempuan berjalan sendiri tengah malam begini cukup berbahaya, apalagi dengan adanya rumor stalker belakangan ini.
Sudah aku putuskan, aku akan menjaganya sampai dia sampai di rumahnya.
Aku pikir lebih baik aku menjaganya diam-diam daripada terang-terangan. Karena itulah aku berjalan menjaga jarak di belakangnya. Sebisa mungkin aku tidak menimbulkan suara dan menyamakan irama jalanku dengannya. Pada malam yang sunyi seperti ini bunyi sedikit saja bisa mudah terdengar, jadi aku harus berhati-hati.
Setelah berjalan cukup jauh, entah kenapa dia semakin sering melihat ke kanan-kiri dan belakang. Aku pun jadi semakin sering berhenti berjalan dan sembunyi. Entah kenapa dia semakin terlihat tidak tenang. Melewati beberapa tikungan setelahnya, tiba-tiba Melsa berlari.
Aku kaget dan langsung ikut berlari mengejarnya. Melsa berlari masuk ke dalam gang kecil. Gerakannya itu sepertinya sedang kabur dari sesuatu. Jagan-jangan di sekitar sini sudah ada stalker! Kalau memang demikian aku harus mempercepat langkahku. Aku harus melindungi Melsa dari stalker itu.
Begitu aku berkelok ke gang yang dimasuki Melsa, ada tong sampah alumunium yang melayang ke arahku. *Klang! Brak!* Aku refleks menendang tong sampah itu ke pinggir. Suara langkah lari Melsa semakin menjauh, aku langsung berlari mengejarnya.
Setelahnya, Melsa berlari terus berbelok-belok melewati jalan yang tidak biasa. Tidak salah lagi, dia pasti sedang berusaha kabur dari sesuatu. Tapi stalkeritu.. Siapa? Di mana? Aku terus mengejarnya di belakangnya tapi tidak bisa merasakan keberadaan siapapun di dekat sini.Aku tidak menyangka ada orang yang pandai bersembunyi sehebat ini.
Melsa di depan berlari keluar ke jalan besar. Jalan ini sangat sepi pada malam hari. Dia berlari melewati perempatan yang lampunya masih merah. Saat itu ada mobil yang sedang melaju kencang dari arah samping. Firasat burukku langsung memuncak. Aku mengerahkan seluruh tenaga yang aku punya untuk berakselerasi mengejarnya.
Mobil itu melaju lurus menghadang Melsa yang sedang menyebrang jalan.
Saat Melsa baru menyadari adanya mobil dari kiri, mobil itu sudah berada sangat dekat dengannya. Pada detik sebelum crash, aku berhasil mendorongnya ke depan. Sedangkan aku, di sana. Dalam hitungan mili detik, lutut kiriku tertabrak duluan, setelahnya badanku terdorong ke atas kap mobil, semua kantung barang bawaanku robek terlontar, badanku berguling ke atas mobil, menabrak dan membuat kaca depan mobil retak, lalu berputar sampai akhirnya mobil itu lewat di bawahku sepenuhnya.
Dalam sekejap, yang terjadi adalah aku tertabrak dan berguling di atas mobil yang melaju kencang itu. Lalu, aku terhantantam ke aspal jalan sambil masih berguling. Mobil itu baru mengerem mendadak setelah menabrakku meninggalkan garis hitam di jalan dan bunyi yang menyelekit.
Sebuah mobil McLaren MP4-12C merah. Sebentar dia berhenti, mobil itu langsung menancap gas dan kabur pergi. Aku bahkan tidak sempat melihat plat nomornya.
Oh ya, Melsa! Apa dia baik-baik saja? Aku langsung bangkit menengok ke arahnya. Melsa sedang terduduk terpana melihat ke arahku. Sepertinya dia baik-baik saja. Aku juga sebaiknya cepat beranjak dari tengah jalan ini. Untung saja aku belajar Aikido dan Jujitsu dari kecil, setidaknya tubuhku tahu caranya meminimalisir benturan yang ada.
Aku berusaha berdiri dan saat itu barulah terasa kalau kaki kiriku lemas mati rasa. Paling tidak, tidak ada yang patah juga sudah beruntung. Aku melihat kantung berisi bahan makanan milikku sudah hancur berantakan. Telur-telur pecah semua, terigu berserakan seperti kapur putih, ketchup saus tomat dan maionase sudah muncrat keluar dari botol mengotori sekujur tubuhku.
Resepnya! Aku harus mencari kertas resepnya. Itu yang penting. Aku merangkak mencari kertas resep pemberian kak Billy di tengah jalanan yang gelap. Dan aku menemukan kertas itu. Secara ajaib, kertas resep itu tertindih di bawah pisau daging.Bagian atas pisaunya sudah kotor berlumuran saus tomat, sedangkan kertas resep di bagian bawahnya bersih tidak bernoda.
“Ketemu.. Hehehe... Syukurlah..”
Apa jadinya kalau aku menghilangkan kertas resep ini? Aku mengambil pisau itu dan menaruh kertas resep itu di sakuku agar aman.
Saat itu, entah kenapa wajah Melsa terlihat semakin pucat dan tubuhnya bergetar.
Aku khawatir, jangan-jangan dia terluka. Aku bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya.
“TIDAAAAAK!!”, Melsa berteriak.
Melsa langsung berdiri dan berlari pergi.
Yang benar saja, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian.. Aku kembali mengerahkan tenagaku untuk berlari mengejarnya. Walaupun aku berlari agak sempoyongan gara-gara kaki kiriku yang lemas, aku masih bisa menandingi kecepatan berlarinya.
Selama berlari, aku terus berpikir kenapa dia terus berlari seperti ini. Apa yang sebenarnya dia hindari. Aku tidak mengerti. Karena itu aku berteriak.
“TUNGGU!! KENAPA KAU TERUS BERLARI!!”
“MAU GIMANA LAGI!? ADA STALKER YANG TERUS MENGEJARKU!!”
!? Ada stalker? Di sini!? Sekarang!?
Ternyata memang ada stalker yang mengejarnya. Kalau begitu, yang harus aku lakukan hanya satu.
Aku berlari mendahuluinya dan menarik tubuh Melsa berbelok masuk ke dalam gang sempit di antara bangunan. Aku menariknya, berlari dan berbelok di persimpangan gang sempit itu. Bahkan pada malam bulan purnama seperti ini, cahayanya hanya dapat samar-samar masuk ke celah gang sempit seperti ini.
“Apa ya--!?”
“Diamlah!!”
Aku mendekapnya dan menutup mulutnya dengan tanganku. Dalam kondisi kritis seperti ini aku harus bergerak cepat dan aku tidak punya pilihan.
Di jalan sempit seperti ini hanya ada satu jalan keluar. Bila stalkeritu masih mengejar kemari, harusnya aku dapat melihatnya datang. Dan bila itu benar-benar terjadi. Maka, aku akan terpaksa memakai pisau daging ini untuk melawannya. Aku harus melakukan serangan balik pada stalkeritu.
“Hmp..! Hmp!!”, Melsa terus memberontak berusaha melepaskan diri.
“Jangan berontak!”
Kalau Melsa terus berontak, kita akan ketahuan. Walaupun begitu dia terus melawanku. Apa boleh buat, aku melepaskan pisau daging yang aku pegang. Aku memelintir tangannya di belakang dan menyekapnya. Dengan kedua tanganku, aku mengunci gerakannya dan menutup mulutnya dengan jurus Jujitsu yang aku pelajari.
Awalnya, Melsa masih berontak. Tapi dengan kuncian seperti ini seharusnya dia akan merasakan kesakitan semakin dia memberontak. Sehingga beberapa lama kemudian dia menyerah dan hanya menunggu lemas.
Satu menit berlalu...
Tiga menit berlalu...
Jalanan gelap yang sunyi. Aku menajamkan pendengaranku untuk mendengarkan sekelilingku. Sebuah bunyi sirine mobil polisi. *Wui wui wui wui*, Mobil itu lewat begitu saja hanya memberikan kilatan warna merah yang sekejap di gang ini. Bunyi sirine itu pun berlalu dan gang ini kembali sunyi.
Lima menit berlalu...
Tidak ada bunyi, tidak ada tanda-tanda seseorang yang mengejar kami.
Aku perlahan-lahan melepaskan Melsa dari dekapanku.
Melsa sepertinya sudah hampir kehabisan energi. Dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Tapi sudah tidak apa-apa. Tidak ada orang yang mengejar Melsa lagi. Sekarang sudah benar-benar aman.
Aku berdiri dengan agak pincang, lalu aku memungut pisau daging titipan dari kak Billy yang tergeletak di tanah.
“Kau tak perlu khawatir. Semua sudah selesai.”
Melsa hanya kaku terdiam memandangiku.
“Sudah tidak ada lagi yang mengejar kita. Yang ada di sini hanya kita berdua.”
“!?!?”
Ya, sudah tidak ada lagi stalkeryang mengejar kita. Kejar-kejaran yang melelahkan ini sudah selesai. Wajah Melsa sepertinya sangat ketakutan seperti melihat hantu. Dia pasti masih belum melupakan rasa tegangnya tadi.
“A-apa yang akan kamu lalukan!?”, tanya Melsa.
“Tidak apa-apa, tidak ada yang perlu kau takuti.”, kataku sambil melangkah mendekatinya.
Aku berusaha menenangkan Melsa dengan kata-kataku.Tapi, entah kenapa ia terlihat semakin pucat.
“Apa kamu.. akan memakan..”
“Ah. Kebetulan aku memang sedang lapar. Rencananya aku akan makan setelah ini.”
Terakhir aku makan malam tadi jam 6 sore. Kue tart tadi tidak cukup untuk memenuhi perutku. Aku juga masih harus belajar mencoba resep omelet rice ini. Jadi aku akan segera membuatnya begitu aku sampai di rumah.
“Hentikan! Jangan mendekat dasar Serigala!”
“Heh? Kenapa kau bisa tahu julukanku?”
Waktu SMP, kehidupan sekolahku lumayan bermasalah.Saat aku kelas dua, ada dua SMP tetangga sekolahku yang sedang ramai-ramainya bersengketa. Mereka sering kali berkelahi satu sama lain. Suatu hari mereka sedang tawuran besar-besaran, kebetulan aku lewat di medan tawuran itu dan terbawa menyampur.
Semuanya berlangsung tanpa kendali hingga aku berakhir dengan menghabisi semua yang ada.
Sejak saat itu kehidupan sekolahku selalu terlibat masalah selama dua tahun terakhir. Banyak orang yang datang mendatangiku membuatku tidaktenang,dan aku mendapat julukan ‘Serigala Bertaring Hitam’.
Untuk memulai semuanya dari awal, aku pindah ke rumah pamanku di luar kota dan bersekolah di SMAku yang sekarang. Kalau dia tahu julukanku, mungkinkah Melsa juga berasal dari kota yang sama?
“Kalau kau sudah tahu siapa aku berarti semuanya lebih mudah. Aku tak perlu menjelaskan lagi apa yang aku mau kan?”
“Tidak..”, kata Melsa dengan suara bergetar.
Aku terus melangkah mendekatinya. Tiap langkahku, tiap ketukan sepatuku dengan tanah inimembuat suara yang menggema di gang yang sepi ini.
“Rasaku tidak enak.. Aku belum siap..”
“Eh?”
Jarak kami semakin dekat.
“Yang seperti ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang menikah..”
“Apa yang kau bicarakan?”
Tepat di depannya aku berhenti dan aku menjulurkan tanganku padanya.
“Jangan...”
Aku hendak menggenggam lengannya untuk membantunya berdiri. Namun, tanganku berhenti bergerak. Ada sesuatu yang membuatku terhenti terpaku mematung terdiam tak bergerak.Tubuhku merinding kaku membatu seiring bercampurnya rasa kaget dan takut. Sesaat yang membuat pikiranku gelap tidak memikirkan apa-apa lagi.
Perasaan itu kurasakan ketika melihat wajahnya.
Dari matanya yang lurus menatapku. Satu tetes air mata jatuh mengalir dari mata kirinya, membuat garis melengkung ke bawah sampai tetesan itu bertumpu pada dagunya. Tetesan airmatanya itu berkilau bagaikan kristal di bawah sinar bulan ini dan siap jatuh setiap saat.
Ekspresi wajahnya itu membekas di dalam pikiranku dan menyayat hatiku dalam waktu yang bersamaan. Membuathawa perasaan yang berat menjerat seluruh tubuhku.
“Kenapa..?”
Mulutku bergerak mengeluarkan pertanyaanku.
“Kenapa kau berwajah seperti itu..?”
Seorang perempuan di hadapanku terduduk. Ia terus memberikan tatapannya itu dalam diam, tidak memberikan jawaban yang aku inginkan.
“Ayolah! Tidak ada yang perlu kau takuti lagi! Sekarang semuanya sudah aman!”
Aku berusaha menyemangatinya.
“Apa kau sakit? Apa kau terluka? Kenapa kau bersedih? Sebenarnya ada apa denganmu?”
Suaraku mulai bergetar dan aku bingung mau berkata apa.
“Kenapa kau menangis?”
Aku tidak tahan lagi.
Melsa terus memandangku dengan tatapannya itu. Seseorang yang baru kutemui hari ini, namun juga seseorang yang membuat perhatianku tertarik padanya. Aku sudah bersikeras sebisaku untuk melindunginya. Tapi kenapa? Melihatnya berwajah seperti itu. Aku tidak tahan lagi.
“Aku mohon..”
Pandanganku mulai menjadi buram.
“Aku mohon jangan menangis lagi..”
Begitu kusadari, air mataku sudah bergelimpahan keluar.
“Eh? Eh?”, aku menyeka air mataku dengan lengan bajuku.
Aku berusaha menahan agar air mataku berhenti mengalir. Aku sangat tidak ingin sosokku yang sedang menagis terlihat oleh perempuan yang kusukai. Tetapi, air mata ini tidak bisa berhenti.
“Kalau kau menangis..*hiks*Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.. *hiks* Jadi.. Aku mohon.. Jangan menangis..*hiks*”
Cekukanku tidak bisa berhenti membuat kata-kataku menjadi tidak karuan.Aku berjongkok sambil menggosok-gosokkan lengan bajuku ke mataku agar dia tidak bisa melihat wajahku yang kacau ini. Selagi aku mengelap air mataku, saus tomat dan maionase yang menempel pada bajuku ini malah masuk ke mata dan membuat mataku menjadi perih.
Karena panik, aku berusaha menyeka mataku dengan bagian tanganku yang lain.
Dan saat itu, sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.
Benda itu tidak lain adalah sapu tangan milik Melsa. Aku menurunkan tanganku dan terdiam di saat ia menyeka airmataku dengan sapu tangannya. Saat itu kulihat dirinya sepertinya merasa heran dan khawatir. Tangannya bergerak dari pipi bawah mataku ke bagian yang lain.
Melsa, dia adalah seorang..
Bidadari..
Air mataku malah semakin deras keluar. Aku terharu dengan sikapnya yang baik hati. Di saat aku tidak tahu harus bagaimana lagi, sentuhan lembut tangannya itu membuatku rasa takutku hilang seketika dan perasaanku meluap tidak terkendali.
Dengan mata yang masih agak kabur dengan air mata ini, aku melihatnya kebingungan menanggapiku.
Aku menyentuh tangannya yang sedang menyeka wajahku ini.
“Terima kasih..”, kataku dengan senyum.
Aku tidak bisa terus-terusan menangis dan membuatnya lebih khawatir lagi. Karena itu, aku harus menguatkan diriku agar lebih teguh.
Saat aku menyentuh tangannya, aku merasa kalau tangannya bergetar. Karena itu aku melepaskan syal milikku. Aku melilitkan syal itu pada lehernya yang terbuka. Agaknya syal itu dapat sedikit menghangatkannya, pikirku.
“Maaf telah membuatmu sedih..”, kataku.
Melsa menarik bagian depan syal yang baru saja kukenakan padanya itu ke atas seperti ingin menyembunyikan wajahnya. Lalu setelah beberapa saat dia menurunkannya lagi.
“Aku sudah.. tidak apa-apa..”, katanya.
Kami terdiam..
Duduk berhadapan di gang yang sempit dan gelap ini. Aku bingung harus berkata apa. Bahkan entah kenapa aku merasa malu melihat wajahnya. Sekali-kali aku melirik dan setiap mata kami bertemu aku kembali memalingkan pandanganku. Aku benar-benar bingung harus melakukan apa.
Waktupun berjalan terasa lama sekali.
Setelahnya, yang pertama kali berbicara adalah Melsa.
“Hei.. Boleh aku tahu kenapa kau membuntutiku?”
“Eh..? Emm... itu...”
Alasan aku membuntutinya adalah karena aku ingin melindunginya. Itu sudah jelas. Tapi, aku sebenarnya ingin melakukannya secara diam-diam. Karena aku tidak ingin ketahuan olehnya. Bila aku jawab secara frontal, kira-kira apa reaksinya? Kalau ia balik bertanya lagi, apa yang harus aku katakan?
Memikirkan banyak hal di dalam kepalaku malah membuat aku semakin ragu untuk berbicara.Dan kalau disadari sekarang, waktu sudah berjalan cukup lama dan akan semakin canggung saja kalau aku baru angkat bicara sekarang. Bagaimana ini?
“Apa.. kamu suka padaku?”
Satu pertanyaan lagi keluar darinya. Pertanyaan yang ini bahkan lebih menusuk, serasa badanku sudah basah karena keringat dingin saja.
Tapi, mungkin ini adalah kesempatan terakhirku. Aku sudah tidak tahu lagi.
“IYA AKU SUKA!! SANGAT SUKA!! APA AKU SALAH!!”
*haah* *haah*
Nafasku terengah-engah setelah mengatakannya. Apa yang aku katakan? Wajahku rasanya panas. Aku tidak bisa melihat matanya lagi. Bagaimana aku bisa mengatakan hal memalukan seperti itu?
“Aku.. senang...”
“Eh?”
Suara kecil darinya membuatku refleks untuk melihat ke arahnya. Melsa tersipu-sipu membuang pandangannya dariku. Ekspresi apa itu? Apa ini? Apa ini? Mungkinkah?Mungkinkah?
“Eh..? Eh..? Eh..? EEEH!?”
“Jangan melihatku seperti itu!!”, kata Melsa panik.
“Ah, maafkan aku!”, aku langsung membalikkan badanku ke arah lain.
Degup jantungku terasa keras sekali. Mungkinkah, mungkinkah.. Mutual? Dia juga.. Aku?
“Aku ingin dengar sekali sekali lagi. Apa kamu benar-benar suka padaku?”, suara kecil Melsa.
Mendengarnya, aku meyakinkan diriku untuk mengatakannya sekali lagi.
“Benar! Aku suka padamu Melsa!”
Kali ini aku bisa mengatakannya dengan lurus. Aku bisa mengatakannya sambil lurus menatap matanya.
Setelahnya, Melsa sepertinya bimbang bercampur dengan panik. Ia menutup matanya dan seperti berpikir keras akan sesuatu. Alis matanya mengerut tajam dan ia mengepalkan kedua tangannya seperti hendak memohon sesuatu.
“Melsa?”
Kata-kataku seperti yang menyadarkannya. Lalu, sambil menatap lembut padaku.Melsa menggapai bagiandepan rok yang dipakainya. Ia menggenggam kain rok itu dengan kuat.
“Ba.. Baiklah.. Ayo cepat lakukan..!”
“Eh?”, aku menatapnya heran bingung menangkap apa maksudnya.
“Aku sudah tahu tujuanmu terus membuntutiku! Jadi cepat selesaikan urusanmu sebelum aku berubah pikiran!”
Wajahnya kacau sekali dan nafasnya tidak beraturan. Kurasa dia sudah merasa terlalu lama menunggu di sini. Aku berdiri dan melangkah mendekatinya. Di depannya, aku menjulurkan tangan kananku padanya.
“Apa kau bisa berdiri? Aku akan mengantarmu pulang?”
“Eh?”, reaksi Melsa bingung.
“Kenapa? Apa ada bagian yang sakit?”, tanyaku khawatir.
“Ah, aku tidak apa-apa..”
“Syukurlah, aku sangat khawatir terjadi sesuatu padamu.”
“...”
Melsa terdiam menunduk ke bawah. Aku terus menjulurkan tanganku padanya tapi ia tidak menghiraukannya dan terus terdiam.
“Melsa..?”
“Kenapa kamu bersikap seolah tidak ada apa-apa?? Sebenarnya apa yang kamu inginkan dasar Stalker Bodoh!?!”, Melsa tiba-tiba berteriak membuatku terdiam kaget.
“Eh..? Tunggu.. maksudmu stalker itu aku?”, kataku sambil menunjuk pada wajahku.
“Tentu saja!! Siapa lagi orang yang terus-terusan membuntutiku dan memojokkanku sampai seperti ini. Tidak ada orang lain lagi selain kamu Stalker!!”
“Hah? Kau salah paham! Aku bukan stalker!!”
“Kalau begitu apa alasanmu mengejarku sambil berlumuran darah membawa-bawa pisau daging itu?? Dasar Stalker Kriminal Psikopat!!”
“Pisau ini hanya titipan dari Kak Billy yang kebetulan aku bawa hari ini! Dan apa maksudmu berlumuran darah? Aku tidak mengerti!”
“Eh..!? Haaah!?”
Wajah Melsa merah padam sambil meluapkan emosinya padaku.Dan di tengah-tengah perdebatan yang tidak nyambung itu, tiba-tiba ada sesosok makhluk yang datang mendekati kami. Makhluk hitam itu datang dengan tiba-tiba di gang sempit yang gelap ini menjadi pihak ke-tiga di antara kami. Sekilas wujudnya tidak jelas karena gelap, namun kedua matanya itu bersinar di bawah terang bulan ini.
*Meaang!*, suara tangis kecilnya.
Makhluk kecil tak lebih tinggi dari satu kaki ini mendekati kami. Kucing hitam polos yang hanya pada bagian ekornya saja terdapat tiga buah belang berwarna putih. Aku mengenali anak kucing kecil ini.
“Noir!”, kataku.
“Kuro!”, kata Melsa.
“Eh!?”, kata kami bersamaan.
...
Setelahnya, kami berdua mengobrol sambil duduk melihat ke arah Noir.
Kami meluruskan segala kesalah pahaman yang ada di antara kami. Bahwa aku bukanlah stalker dan aku sama sekali tidak berniat jahat apapun padanya.
“Maafkan aku sudah salah paham!”, kata Melsa.
“Ah, tidak-tidak. Aku yang minta maaf sudah bikin salah paham!”
Kami berdua saling meminta maaf dalam canggung. Melsa sepertinya sudah tenang dan kepanikannya sudah hilang. Dia yang sekarang menjadi sangat kalem.
“Hahahaha..”, kami tertawa pelan.
Di sana, Noir menjilati maionase yang menempel pada lengan jaketku.Aku terkadang suka melihat kucing hitam ini keluyuran malam-malam dan sering membaginya sepotong roti yang aku bawa. Karena cukup sering ketemu maka aku menamainya ‘Noir’. Ternyata Melsa juga melakukan hal yang mirip dan ia memanggil kucing ini dengan sebutan ‘Kuro’.
Melsa mencolek sedikit pada lengan bajuku dan memasukkan telunjuk itu pada mulutnya.
“Saus tomat..”, katanya kecil.
“Haha.. Jadi kau kira aku ini berlumuran darah?”
“Mana kutahu kalau itu saus tomat. Lagipula kamu ini nyatanya memang membuntutiku kan? Berarti tidak salah kalau aku menyebutmu salker.”
“Bu-bukan! Aku dengar rumor kalau di sekitar sini sedang rawan kasus stalker. Makanya aku tidak bisa membiarkanmu sendirian.”
“Oh, begitu..”
“...”
“...”
“Ayo, pulang..”
“Iya..”
Malam itu, Kami berduapun berjalan pulang.Selama kami berjalan, jarang sekali adanya pembicaraan di antara kami.Sebenarnya aku ingin lebih banyak mengobrol dengannya. Tapi, setelah banyak hal yang kami alami, aku tidak tahu harus berbicara apa.
Aku berjalan di sampingnya, mengantarnya sampai ke depan pintu rumahnya.
“Sudah sampai.”, kata Melsa.
“Ah, iya..”
“Kalau begitu, selamat tinggal.”
Melsa mendorong pagar rumahnya dan mulai berjalan masuk. Saat itu aku berpikir malam yang terasa panjang ini akan segera berakhir. Tiba-tiba Melsa berbalik kembali padaku,
“Oh iya, ini. Syalnya.”, Melsa menyerahkan kembali syal yang dia pakai itu padaku.
“Ah iya, aku lupa.”
Kami terdiam kembali.
“Sebenarnya, aku takut sekali dengan rumor stalker itu. Makanya saat kamu membuntutiku diam-diam, aku langsung merasa sangat ketakutan.”
“Maaf..”
“Makanya.. Kalau mau melindungiku jangan diam-diam begitu.”
“Eh, ah. Iya.”
“Makanya.. Jadi.. Kalau kamu memang ingin melindungiku dari stalker.. Di sampingku saja..”
“Eh?”
Tanpa syal yang aku berikan padanya, wajah Melsa yang malu-malu terlihat dengan lebih jelas. Lirikan matanya yang tidak bisa diam itu. Wajahnya yang agak memerah.
“Kalau begitu. Selanjutnya aku akan mengantarmu kalau kau pulang malam lagi.”
“Eh.. baiklah.”, Melsa tersenyum.
“Tapi, aku tidak tahu kapan saja kau pulang malam dari café itu.”
“Ka- kalau begitu. Bagaimana kalau kita bertukar nomor HP? Agar kita bisa saling berkomunikasi.”
“O-oke.”, aku bergegas mengambil telepon genggam dari sakuku dan mengangkatnya.
“Aku miss call ya.”
“Iya”
Telepon genggamku berbunyi menerima panggilan darinya. Nomor HPnya sudah ter catat dalam log HP-ku. Setelahnya, Melsa mengambil syal dari tanganku dan ia berlari menuju pintu pagarnya.
“Kalau begitu, aku akan mencucikan syal ini. Nanti akan aku kembalikan saat kita bertemu lagi nanti.”
“Iya.”
“Kalau begitu, Riki.. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Setelah aku menjawab salamnya, Melsa langsung bergegas masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan aku sendiri di luar pagar rumahnya ini.
Rasanya, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya di dalam hati. Rasanya malam ini begitu penuh dengan keajaiban. Aku bisa bertemu dengan gadis yang sangat cantik dan manis, bahkan aku langsung mendapatkan nomor HPnya. Malam ini hebat sekali!
Dengan tubuhku yang terasa sangat ringan ini, dengan pisau daging di tangan kananku dan engan baju yang penuh dengan noda merah. Aku berlari pulang secepat yang aku bisa.
***
Story written by Nectarpilair, 19 June 2012
Thank’s for reading!
“Kalau kau sudah tahu siapa aku berarti semuanya lebih mudah. Aku tak perlu menjelaskan lagi apa yang aku mau kan?”
“Tidak..”, kata Melsa dengan suara bergetar.
Aku terus melangkah mendekatinya. Tiap langkahku, tiap ketukan sepatuku dengan tanah inimembuat suara yang menggema di gang yang sepi ini.
“Rasaku tidak enak.. Aku belum siap..”
“Eh?”
Jarak kami semakin dekat.
“Yang seperti ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang menikah..”
“Apa yang kau bicarakan?”
Tepat di depannya aku berhenti dan aku menjulurkan tanganku padanya.
“Jangan...”
Aku hendak menggenggam lengannya untuk membantunya berdiri. Namun, tanganku berhenti bergerak. Ada sesuatu yang membuatku terhenti terpaku mematung terdiam tak bergerak.Tubuhku merinding kaku membatu seiring bercampurnya rasa kaget dan takut. Sesaat yang membuat pikiranku gelap tidak memikirkan apa-apa lagi.
Perasaan itu kurasakan ketika melihat wajahnya.
Dari matanya yang lurus menatapku. Satu tetes air mata jatuh mengalir dari mata kirinya, membuat garis melengkung ke bawah sampai tetesan itu bertumpu pada dagunya. Tetesan airmatanya itu berkilau bagaikan kristal di bawah sinar bulan ini dan siap jatuh setiap saat.
Ekspresi wajahnya itu membekas di dalam pikiranku dan menyayat hatiku dalam waktu yang bersamaan. Membuathawa perasaan yang berat menjerat seluruh tubuhku.
“Kenapa..?”
Mulutku bergerak mengeluarkan pertanyaanku.
“Kenapa kau berwajah seperti itu..?”
Seorang perempuan di hadapanku terduduk. Ia terus memberikan tatapannya itu dalam diam, tidak memberikan jawaban yang aku inginkan.
“Ayolah! Tidak ada yang perlu kau takuti lagi! Sekarang semuanya sudah aman!”
Aku berusaha menyemangatinya.
“Apa kau sakit? Apa kau terluka? Kenapa kau bersedih? Sebenarnya ada apa denganmu?”
Suaraku mulai bergetar dan aku bingung mau berkata apa.
“Kenapa kau menangis?”
Aku tidak tahan lagi.
Melsa terus memandangku dengan tatapannya itu. Seseorang yang baru kutemui hari ini, namun juga seseorang yang membuat perhatianku tertarik padanya. Aku sudah bersikeras sebisaku untuk melindunginya. Tapi kenapa? Melihatnya berwajah seperti itu. Aku tidak tahan lagi.
“Aku mohon..”
Pandanganku mulai menjadi buram.
“Aku mohon jangan menangis lagi..”
Begitu kusadari, air mataku sudah bergelimpahan keluar.
“Eh? Eh?”, aku menyeka air mataku dengan lengan bajuku.
Aku berusaha menahan agar air mataku berhenti mengalir. Aku sangat tidak ingin sosokku yang sedang menagis terlihat oleh perempuan yang kusukai. Tetapi, air mata ini tidak bisa berhenti.
“Kalau kau menangis..*hiks*Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.. *hiks* Jadi.. Aku mohon.. Jangan menangis..*hiks*”
Cekukanku tidak bisa berhenti membuat kata-kataku menjadi tidak karuan.Aku berjongkok sambil menggosok-gosokkan lengan bajuku ke mataku agar dia tidak bisa melihat wajahku yang kacau ini. Selagi aku mengelap air mataku, saus tomat dan maionase yang menempel pada bajuku ini malah masuk ke mata dan membuat mataku menjadi perih.
Karena panik, aku berusaha menyeka mataku dengan bagian tanganku yang lain.
Dan saat itu, sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.
Benda itu tidak lain adalah sapu tangan milik Melsa. Aku menurunkan tanganku dan terdiam di saat ia menyeka airmataku dengan sapu tangannya. Saat itu kulihat dirinya sepertinya merasa heran dan khawatir. Tangannya bergerak dari pipi bawah mataku ke bagian yang lain.
Melsa, dia adalah seorang..
Bidadari..
Air mataku malah semakin deras keluar. Aku terharu dengan sikapnya yang baik hati. Di saat aku tidak tahu harus bagaimana lagi, sentuhan lembut tangannya itu membuatku rasa takutku hilang seketika dan perasaanku meluap tidak terkendali.
Dengan mata yang masih agak kabur dengan air mata ini, aku melihatnya kebingungan menanggapiku.
Aku menyentuh tangannya yang sedang menyeka wajahku ini.
“Terima kasih..”, kataku dengan senyum.
Aku tidak bisa terus-terusan menangis dan membuatnya lebih khawatir lagi. Karena itu, aku harus menguatkan diriku agar lebih teguh.
Saat aku menyentuh tangannya, aku merasa kalau tangannya bergetar. Karena itu aku melepaskan syal milikku. Aku melilitkan syal itu pada lehernya yang terbuka. Agaknya syal itu dapat sedikit menghangatkannya, pikirku.
“Maaf telah membuatmu sedih..”, kataku.
Melsa menarik bagian depan syal yang baru saja kukenakan padanya itu ke atas seperti ingin menyembunyikan wajahnya. Lalu setelah beberapa saat dia menurunkannya lagi.
“Aku sudah.. tidak apa-apa..”, katanya.
Kami terdiam..
Duduk berhadapan di gang yang sempit dan gelap ini. Aku bingung harus berkata apa. Bahkan entah kenapa aku merasa malu melihat wajahnya. Sekali-kali aku melirik dan setiap mata kami bertemu aku kembali memalingkan pandanganku. Aku benar-benar bingung harus melakukan apa.
Waktupun berjalan terasa lama sekali.
Setelahnya, yang pertama kali berbicara adalah Melsa.
“Hei.. Boleh aku tahu kenapa kau membuntutiku?”
“Eh..? Emm... itu...”
Alasan aku membuntutinya adalah karena aku ingin melindunginya. Itu sudah jelas. Tapi, aku sebenarnya ingin melakukannya secara diam-diam. Karena aku tidak ingin ketahuan olehnya. Bila aku jawab secara frontal, kira-kira apa reaksinya? Kalau ia balik bertanya lagi, apa yang harus aku katakan?
Memikirkan banyak hal di dalam kepalaku malah membuat aku semakin ragu untuk berbicara.Dan kalau disadari sekarang, waktu sudah berjalan cukup lama dan akan semakin canggung saja kalau aku baru angkat bicara sekarang. Bagaimana ini?
“Apa.. kamu suka padaku?”
Satu pertanyaan lagi keluar darinya. Pertanyaan yang ini bahkan lebih menusuk, serasa badanku sudah basah karena keringat dingin saja.
Tapi, mungkin ini adalah kesempatan terakhirku. Aku sudah tidak tahu lagi.
“IYA AKU SUKA!! SANGAT SUKA!! APA AKU SALAH!!”
*haah* *haah*
Nafasku terengah-engah setelah mengatakannya. Apa yang aku katakan? Wajahku rasanya panas. Aku tidak bisa melihat matanya lagi. Bagaimana aku bisa mengatakan hal memalukan seperti itu?
“Aku.. senang...”
“Eh?”
Suara kecil darinya membuatku refleks untuk melihat ke arahnya. Melsa tersipu-sipu membuang pandangannya dariku. Ekspresi apa itu? Apa ini? Apa ini? Mungkinkah?Mungkinkah?
“Eh..? Eh..? Eh..? EEEH!?”
“Jangan melihatku seperti itu!!”, kata Melsa panik.
“Ah, maafkan aku!”, aku langsung membalikkan badanku ke arah lain.
Degup jantungku terasa keras sekali. Mungkinkah, mungkinkah.. Mutual? Dia juga.. Aku?
“Aku ingin dengar sekali sekali lagi. Apa kamu benar-benar suka padaku?”, suara kecil Melsa.
Mendengarnya, aku meyakinkan diriku untuk mengatakannya sekali lagi.
“Benar! Aku suka padamu Melsa!”
Kali ini aku bisa mengatakannya dengan lurus. Aku bisa mengatakannya sambil lurus menatap matanya.
Setelahnya, Melsa sepertinya bimbang bercampur dengan panik. Ia menutup matanya dan seperti berpikir keras akan sesuatu. Alis matanya mengerut tajam dan ia mengepalkan kedua tangannya seperti hendak memohon sesuatu.
“Melsa?”
Kata-kataku seperti yang menyadarkannya. Lalu, sambil menatap lembut padaku.Melsa menggapai bagiandepan rok yang dipakainya. Ia menggenggam kain rok itu dengan kuat.
“Ba.. Baiklah.. Ayo cepat lakukan..!”
“Eh?”, aku menatapnya heran bingung menangkap apa maksudnya.
“Aku sudah tahu tujuanmu terus membuntutiku! Jadi cepat selesaikan urusanmu sebelum aku berubah pikiran!”
Wajahnya kacau sekali dan nafasnya tidak beraturan. Kurasa dia sudah merasa terlalu lama menunggu di sini. Aku berdiri dan melangkah mendekatinya. Di depannya, aku menjulurkan tangan kananku padanya.
“Apa kau bisa berdiri? Aku akan mengantarmu pulang?”
“Eh?”, reaksi Melsa bingung.
“Kenapa? Apa ada bagian yang sakit?”, tanyaku khawatir.
“Ah, aku tidak apa-apa..”
“Syukurlah, aku sangat khawatir terjadi sesuatu padamu.”
“...”
Melsa terdiam menunduk ke bawah. Aku terus menjulurkan tanganku padanya tapi ia tidak menghiraukannya dan terus terdiam.
“Melsa..?”
“Kenapa kamu bersikap seolah tidak ada apa-apa?? Sebenarnya apa yang kamu inginkan dasar Stalker Bodoh!?!”, Melsa tiba-tiba berteriak membuatku terdiam kaget.
“Eh..? Tunggu.. maksudmu stalker itu aku?”, kataku sambil menunjuk pada wajahku.
“Tentu saja!! Siapa lagi orang yang terus-terusan membuntutiku dan memojokkanku sampai seperti ini. Tidak ada orang lain lagi selain kamu Stalker!!”
“Hah? Kau salah paham! Aku bukan stalker!!”
“Kalau begitu apa alasanmu mengejarku sambil berlumuran darah membawa-bawa pisau daging itu?? Dasar Stalker Kriminal Psikopat!!”
“Pisau ini hanya titipan dari Kak Billy yang kebetulan aku bawa hari ini! Dan apa maksudmu berlumuran darah? Aku tidak mengerti!”
“Eh..!? Haaah!?”
Wajah Melsa merah padam sambil meluapkan emosinya padaku.Dan di tengah-tengah perdebatan yang tidak nyambung itu, tiba-tiba ada sesosok makhluk yang datang mendekati kami. Makhluk hitam itu datang dengan tiba-tiba di gang sempit yang gelap ini menjadi pihak ke-tiga di antara kami. Sekilas wujudnya tidak jelas karena gelap, namun kedua matanya itu bersinar di bawah terang bulan ini.
*Meaang!*, suara tangis kecilnya.
Makhluk kecil tak lebih tinggi dari satu kaki ini mendekati kami. Kucing hitam polos yang hanya pada bagian ekornya saja terdapat tiga buah belang berwarna putih. Aku mengenali anak kucing kecil ini.
“Noir!”, kataku.
“Kuro!”, kata Melsa.
“Eh!?”, kata kami bersamaan.
...
Setelahnya, kami berdua mengobrol sambil duduk melihat ke arah Noir.
Kami meluruskan segala kesalah pahaman yang ada di antara kami. Bahwa aku bukanlah stalker dan aku sama sekali tidak berniat jahat apapun padanya.
“Maafkan aku sudah salah paham!”, kata Melsa.
“Ah, tidak-tidak. Aku yang minta maaf sudah bikin salah paham!”
Kami berdua saling meminta maaf dalam canggung. Melsa sepertinya sudah tenang dan kepanikannya sudah hilang. Dia yang sekarang menjadi sangat kalem.
“Hahahaha..”, kami tertawa pelan.
Di sana, Noir menjilati maionase yang menempel pada lengan jaketku.Aku terkadang suka melihat kucing hitam ini keluyuran malam-malam dan sering membaginya sepotong roti yang aku bawa. Karena cukup sering ketemu maka aku menamainya ‘Noir’. Ternyata Melsa juga melakukan hal yang mirip dan ia memanggil kucing ini dengan sebutan ‘Kuro’.
Melsa mencolek sedikit pada lengan bajuku dan memasukkan telunjuk itu pada mulutnya.
“Saus tomat..”, katanya kecil.
“Haha.. Jadi kau kira aku ini berlumuran darah?”
“Mana kutahu kalau itu saus tomat. Lagipula kamu ini nyatanya memang membuntutiku kan? Berarti tidak salah kalau aku menyebutmu salker.”
“Bu-bukan! Aku dengar rumor kalau di sekitar sini sedang rawan kasus stalker. Makanya aku tidak bisa membiarkanmu sendirian.”
“Oh, begitu..”
“...”
“...”
“Ayo, pulang..”
“Iya..”
Malam itu, Kami berduapun berjalan pulang.Selama kami berjalan, jarang sekali adanya pembicaraan di antara kami.Sebenarnya aku ingin lebih banyak mengobrol dengannya. Tapi, setelah banyak hal yang kami alami, aku tidak tahu harus berbicara apa.
Aku berjalan di sampingnya, mengantarnya sampai ke depan pintu rumahnya.
“Sudah sampai.”, kata Melsa.
“Ah, iya..”
“Kalau begitu, selamat tinggal.”
Melsa mendorong pagar rumahnya dan mulai berjalan masuk. Saat itu aku berpikir malam yang terasa panjang ini akan segera berakhir. Tiba-tiba Melsa berbalik kembali padaku,
“Oh iya, ini. Syalnya.”, Melsa menyerahkan kembali syal yang dia pakai itu padaku.
“Ah iya, aku lupa.”
Kami terdiam kembali.
“Sebenarnya, aku takut sekali dengan rumor stalker itu. Makanya saat kamu membuntutiku diam-diam, aku langsung merasa sangat ketakutan.”
“Maaf..”
“Makanya.. Kalau mau melindungiku jangan diam-diam begitu.”
“Eh, ah. Iya.”
“Makanya.. Jadi.. Kalau kamu memang ingin melindungiku dari stalker.. Di sampingku saja..”
“Eh?”
Tanpa syal yang aku berikan padanya, wajah Melsa yang malu-malu terlihat dengan lebih jelas. Lirikan matanya yang tidak bisa diam itu. Wajahnya yang agak memerah.
“Kalau begitu. Selanjutnya aku akan mengantarmu kalau kau pulang malam lagi.”
“Eh.. baiklah.”, Melsa tersenyum.
“Tapi, aku tidak tahu kapan saja kau pulang malam dari café itu.”
“Ka- kalau begitu. Bagaimana kalau kita bertukar nomor HP? Agar kita bisa saling berkomunikasi.”
“O-oke.”, aku bergegas mengambil telepon genggam dari sakuku dan mengangkatnya.
“Aku miss call ya.”
“Iya”
Telepon genggamku berbunyi menerima panggilan darinya. Nomor HPnya sudah ter catat dalam log HP-ku. Setelahnya, Melsa mengambil syal dari tanganku dan ia berlari menuju pintu pagarnya.
“Kalau begitu, aku akan mencucikan syal ini. Nanti akan aku kembalikan saat kita bertemu lagi nanti.”
“Iya.”
“Kalau begitu, Riki.. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Setelah aku menjawab salamnya, Melsa langsung bergegas masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan aku sendiri di luar pagar rumahnya ini.
Rasanya, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya di dalam hati. Rasanya malam ini begitu penuh dengan keajaiban. Aku bisa bertemu dengan gadis yang sangat cantik dan manis, bahkan aku langsung mendapatkan nomor HPnya. Malam ini hebat sekali!
Dengan tubuhku yang terasa sangat ringan ini, dengan pisau daging di tangan kananku dan engan baju yang penuh dengan noda merah. Aku berlari pulang secepat yang aku bisa.
***
Story written by Nectarpilair, 19 June 2012
Thank’s for reading!